Sahabat Langit Malam


LANGIT MALAM


          Rasa iba atau prihatinku ketika menatap langit malam, begitu gelap gulita! awan mendung yang setia menyelimutinya, menambah kepekatan malam yang hitam. Tanpa bintang maupun rembulan! entahlah mereka pergi kemana ; mungkinkah mereka tak sudi lagi menemani sang langit malam?... pertengahan bulan, seharusnya sang purnama datang menemani langit malam, tetapi apalah... tak ku jumpai juga.

          Langit malam, seperti menjadi cermin diri, mengibaratkan sebuah jiwa yang sangat menyedihkan, jiwa yang sangat sepi pun tak tahu diri. Binar mataku tak lepas dari tatapan sang langit malam, kami bercengkerama dalam hening merenungi nasib yang hampir sama. Beberapa saat kami habiskan waktu bersama, hingga langit malam pun mulai menangis, dan akhirnya turun gerimis. Aku tak sanggup menatapnya, ku pejamkan mata, dan terasa kelopak mataku mulai basah, Ya! Ternyata aku ikut menangis bersama langit malam yang gerimis.

          Aku dan langit malam! Yah! Kami bersahabat. Namun, tak sepenuhnya bernasib sama. Beruntung aku, secangkir kopi pahit yang sama pekatnya dengan langit malam masih sudi menemani jiwa yang sepi, dan mampu menenangkan jiwa yang sedang muram.

          Wahai langit malam, tak mengapa bila malam ini purnama tak sanggup datang, mungkin esok malam ia akan hadir membawa senyummu yang kemarin sempat hilang. Bersama para bintang yang kan menambah indah pesonamu wahai langit malam. Aku juga akan menemanimu lagi esok, tuk kembali tersenyum bersama purnama dan para bintang.

KARENA SESUNGGUHNYA JIWAKU ADALAH LANGIT MALAM ITU SENDIRI.

AKU + LANGIT MALAM = AKU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untukmu

Tak Sepantasnya (Puisi)

Sebuah Jalan Panjang